Pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah benua Afrika.
''Aku tinggalkan Tangier, kampung halamanku, pada Kamis 2 Rajab 725 H/
14 Juni 1325 M. Saat itu usiaku baru 21 tahun empat bulan. Tujuanku
adalah menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci di Makkah dan berziarah ke
makam Rasulullah SAW di Madinah,'' kisah Ibnu Battuta - pengembara dan
penjelajah Muslim terhebat di dunia -- membuka pengalaman perjalanan
panjangnya dalam buku catatannya, Rihla.
Dengan penuh
kesedihan, ia meninggalkan orangtua serta sahabat sahabatnya di Tangier.
Tekadnya sudah bulat untuk menunaikan rukun iman kelima. Perjalananya
menuju ke Baitullah telah membawanya bertualang dan menjelajahi dunia.
Seorang diri, dia mengarungi samudera dan menjelajah daratan demi sebuah
tujuan mulia.
''Kehebatan Ibnu Battuta hanya dapat
dibandingkan dengan pelancong terkemuka Eropa, Marcopolo (1254 M -1324
M),'' ujar Sejarawan Brockelmann mengagumi ketangguhan sang pengembara
Muslim itu. Selama hampir 30 tahun, dia telah mengunjungi tiga benua
mulai dari Afrika Utara, Afrika Barat, Eropa Selatan, Eropa Timur, Timur
Tengah, India, Asia engah, Asia Tenggara, dan Cina.
Perjalanan
panjang dan pengembaraannya mengelilingi dunia itu mencapai 73 ribu mil
atau sejauh 117 ribu kilometer. Tak heran, bila kehebatannya mampu
melampaui sejumlah penjelajah Eropa yang diagung-agungkan Barat seperti
Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan yang mulai berlayar
125 setelah Ibnu Battuta.
Sejarawan Barat, George Sarton,
mencatat jarak perjalanan yang ditempuh Ibnu Battuta melebihi capaian
Marco Polo. Tak heran, bila Sarton geleng-geleng kepala dan mengagumi
ketangguhan seorang Ibnu Battuta yang mampu mengarungi lauatan dan
menjelajahi daratan sepanjang 73 ribu mil itu. Sebuah pencapaian yang
tak ada duanya di masa itu.
Lalu siapakah sebenarnya pengembara
tangguh bernama Ibnu Battuta itu? Pria kelahiran Tangier 17 Rajab 703
H/ 25 Februari 1304 itu bernama lengkap Muhammad bin Abdullah bin
Muhammad bin Ibrahim At-Tanji, bergelar Syamsuddin bin Battutah. Sejak
kecil, Ibnu Battuta dibesarkan dalam keluarga yang taat menjaga tradisi
Islam. Ibnu Battuta begitu tertarik untuk mendalami ilmu-ilmu fikih dan
sastra dan syair Arab.
Kelak, ilmu yang dipelajarinya semasa
kecil hingga dewasa itu banyak membantunya dalam melalui perjalanan
panjangnya. Ketika Ibnu Battuta tumbuh menjadi seorang pemuda, dunia
Islam terbagi-bagi atas kerajaan-kerajaan dan dinasti. Ia sempat
mengalami kejayaan Bani Marrin yang berkuasa di Maroko pada abad ke-13
dan 14 M.
Latar belakang Ibnu Battuta begitu jauh berbeda bila
dibandingkan Marco Polo yang seorang pedagang dan Columbus yang
benar-benar seorang petualang sejati. Meski Ibnu Battuta adalah seorang
teologis, sastrawan puis,i dan cendekiawan, serta humanis, namun
ketangguhannya mampu mengalahkan keduanya.
Meski hatinya berat
untuk meninggalkan orang-orang yang dicintainya, Ibnu Battuta tetap
meninggalkan kampung halamannya untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah
yang berjarak 3.000 mil ke arah Timur. Dari Tangier, Afrika Utara dia
menuju Iskandariah. Lalu kembali bergerak ke Dimyath dan Kaherah.
Setelah itu, dia menginjakkan kakinya di Palestina dan selanjutnya
menuju Damaskus. Ia lalu berjalan kaki ke Ladzikiyah hingga sampai di
Allepo. Pintu menuju Makkah terbuka dihadapannya setelah dia melihat
satu kafilah sedang bergerak untuk menunaikan ibadat haji ke Tanah Suci.
Ia pun bergabung dengan rombongan itu. Beliau menetap di Makkah selama
dua tahun.
Setelah cita-citanya tercapai, Ibnu Battuta,
ternyata tak langsung pulang ke Tangier, Maroko. Ia lebih memilih untuk
meneruskan pengembaraannya ke Yaman melalui jalan laut dan melawat ke
Aden, Mombosa, Timur Afrika dan menuju ke Kulwa. Ia kembali ke Oman dan
kembali lagi ke Makkah untuk menunaikan Haji pada tahun 1332 M, melaui
Hormuz, Siraf, Bahrin dan Yamama.
Itulah putaran pertama
perjalanan yang tempuh Ibnu Battuta. Pengembaraan putara kedua, dilalu
Ibnu Battuta dengan menjelajahi Syam dan Laut Hitam. I lalumeneruskan
pengembaraannya ke Bulgaria, Roma, Rusia, Turki serta pelabuhan
terpenting di Laut Hitam yaitu Odesia, kemudian menyusuri sepanjang
Sungai Danube.
Ia lalu berlayar menyeberangi Laut Hitam ke
Semenanjung Crimea dan mengunjungi Rusia Selatan dan seterusnya ke
India. Di India, ia pernah diangkat menjadi kadi. Dia lalu bergerak lagi
ke Sri Langka, Indonesia, dan Canton. Kemudian Ibnu Battuta mengembara
pula ke Sumatera, Indonesia dan melanjutkan perjalanan melalui laut
Amman dan akhirnya eneruskan perjalanan darat ke Iran, Irak, Palestina,
dan Mesir.
Beliau lalu kembali ke Makkah untuk menunaikan
ibadah hajinya yang ke tujuh pada bulan November 1348 M. Perjalanan
putaran ketiga kembali dimulai pada 753 H. Ia terdampar di Mali di
tengah Afrika Barat dan akhirnya kembali ke Fez, Maroko pada 1355 M.
Ia mengakhiri cerita perjalannya dengan sebuah kalimat, ''Akhirnya aku
sampai juga di kota Fez.'' Di situ dia menuliskan hasil pengembaraannya.
Salah seorang penulis bernama Mohad Ibnu Juza menuliskan kisah
perjalanannya dengan gaya bahasa yang renyah. Dalam waktu tiga bulan,
buku berjudul Persembahan Seorang pengamat tentang Kota-Kota Asing dan
Perjalanan yang Mengagumka, diselesaikannya pada 9 Desember 1355 M.
Secara detail, setiap kali mengunjungi sebuah negeri atau negara, Ibnu
Battuta mencatat mengenai penduduk, pemerintah, dan ulama. Ia juga
mengisahkan kedukaan yang pernah dialaminya seperti ketika berhadapa
dengan penjahat, hampir pingsan bersama kapal yang karam dan nyaris
dihukum penggal oleh pemerintah yang zalim. Ia meninggal dunia di Maroko
pada pada tahun 1377 M. Kisah pencapaian Ibnu Battuta yang luar biasa
itu, konon dirampas dan disembunyikan Kerajaan Prancis saat menjajah
benua Afrika. Buktinya, Barat baru mengetahui kehebatannya setelah tiga
abad meninggalnya sang pengembara.
Dari Tangier ke Samudera Pasai
Petualangan dan perjalanan panjang yang ditempuh Ibnu Battuta sempat
membuatnya terdampar di Samudera Pasai - kerajaan Islam pertama di
Nusantara pada abad ke-13 M. Ia menginjakkan kakinya di Aceh pada tahun
1345. Sang pengembara itu singgah di bumi Serambi Makkah selama 15 hari.
Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battuta melukiskan Samudera Pasai
dengan begitu indah. ''Negeri yang hijau dengan kota pelabuhannya yang
besar dan indah,'' tutur sang pengembara berdecak kagum. Kedatangan
penjelajah kondang asal Maroko itu mendapat sambutan hangat dari para
ulama dan pejabat Samudera Pasai.
Ia disambut oleh pemimpin
Daulasah, Qadi Syarif Amir Sayyir al-Syirazi, Tajudin al-Ashbahani dan
ahli fiqih kesultanan. Menurut Ibnu Battuta, kala itu Samudera Pasai
telah menjelma sebagai pusat studi Islam di Asia Tenggara. Penjelajah
termasyhur itu juga mengagumi Sultan Mahmud Malik Al-Zahir penguasa
Samudera Pasai.
''Sultan Mahmud Malik Al-Zahir adalah seorang
pemimpin yang sangat mengedepankan hukum Islam. Pribadinya sangat rendah
hati. Ia berangkat ke masjid untuk shalat Jumat dengan berjalan kaki.
Selesai shalat, sultan dan rombongan biasa berkeliling kota untuk
melihat keadaan rakyatnya,'' kisah Ibnu Battuta.
Menurut Ibnu
Battuta, penguasa Samudera Pasai itu memiliki ghirah belajar yang tinggi
untuk menuntut ilmu-ilmu Islam kepada ulama. Dia juga mencatat, pusat
studi Islam yang dibangun dii lingkungan kerajaan menjadi tempat diskusi
antara ulama dan elit kerajaan. Selama berpetualang mengelilingi dunia
dan menjejakkan kakinya di 44 negara, dalam kitab yang berjudul Tuhfat
al-Nazhar, Ibnu Battuta menuturkan telah bertemu dengan tujuh raja yang
memiliki kelebihan yang luar biasa.
Ketujuh raja yang dikagumi
Ibnu Battuta itu antara lain; raja Iraq yang dinilainya berbudi bahasa;
raja Hindustani yang disebutnya sangat ramah; raja Yaman yang
dianggapnya berakhlak mulia; raja Turki dikaguminya karena gagah
perkasa; Raja Romawi yang sangat pemaaf; Raja Melayu Malik Al-Zahir yang
dinilainya berilmu pengetahuan luas dan mendalam, serta raja Turkistan.
Setelah berkelana dan mengembara di Samudera Pasai selama dua pekan,
Ibnu Battuta akhirnya melanjutkan perjalannnya menuju Negeri Tirai Bambu
Cina. Catatan perjalanan Ibnu Battuta itu menggambarkan pada abad
pertengahan, peradaban telah tumbuh dan berkembang di bumi Nusantara.
Abadi di Kawah Bulan
Nama besar dan kehebatan Ibnu Battuta dalam menjelajahi dunia di abad
pertengahan hingga kini tetap dikenang. Bukan hanya umat Islam saja yang
mengakui kehebatannya, Barat pun mengagumi sosok Ibnu Battuta. Tak
heran, karya-karyanya disimpan Barat.
Sebagai bentuk
penghormatan atas dedikasinya, International Astronomy Union (IAU)
mengabadikan Ibnu Battuta menjadi nama salah satu kawah bulan. Bagi
orang Astronomi, Ibnu Battuta bukan hanya seorang pengembara dan
penjelajah paling termasyhur, namun juga sebuah kawah kecil di bulan
yang berada di Mare Fecunditas.
Kawah Ibnu Battuta terletak di
Baratdaya kawah Lindenbergh dan Timurlaut kawah bulan terkenal
Goclenius. Di sekitar kawah Ibnu Battuta tersebar beberapa formasi kawah
hantu. Kawah Ibnu Battuta berbentuk bundar dan simetris. Dasar bagian
dalam kawah Ibnu Battuta terbilang luas. Diameter kawah itu mencapai 11
kilometer. Dasar kawah bagian dalamnya terbilang gelap, segelap luarnya.
Kawah Ibnu Battuta awalnya bernama Goclenius A. Namun, IAU kemudian
memberinya nama Ibnu Battuta.
Selain dijadikan nama kawah di
bulan, Ibnu Battuta juga diabadikan dan dikenang masyarakat Dubai lewat
sebuah mal atau pusat perbelanjaan bernama Ibnu Battuta Mall. Di
sepanjang koridor mal itu dipajangkan hasil penelitian dan penemuan Ibnu
Battuta. Meski petualangan dan pengembaraannya telah berlalu enam abad
silam, namun kebesaran dan kehebatannya hingga kini tetap dikenang.
Penulis : heri ruslan
REPUBLIKA - Rabu, 27 Februari 2008
Sumber dari ROL REPUBLIKA ONLINE
Tiada ulasan:
Catat Ulasan